Ketua GAM Siap Melawan
ChannelRakyat. Pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)--termasuk Komite Peralihan Aceh (KPA)--menegaskan tidak pernah membela kadernya yang patut diduga dan terlibat dalam penyelewengan keuangan negara serta daerah. Sebaliknya, pimpinan GAM beserta jajaran di bawahnya, siap melawan apabila ada upaya rekayasa untuk merusak nilai-nilai perjuangan dengan cara mempolitisasi setiap masalah yang muncul, terutama masalah hukum.
Penegasan tersebut disampaikan pimpinan GAM, Bakhtiar Abdullah dan Muzakir Manaf (KPA) dalam siaran pers yang diterima Serambi, menanggapi adanya pihak-pihak yang mencoba mengusik damai Aceh, khususnya pada aspek hukum.
Kondisi yang terjadi, menurut Bakhtiar Abdullah dan Muzakir Manaf dapat mengganggu proses perdamaian yang telah disepakati antara GAM dengan Pemerintah Indonesia dan juga menimbulkan trauma hukum dan psikologis bagi rakyat Aceh, khususnya pimpinan dan mantan kombatan GAM.
“Terhadap munculnya persoalan di Aceh, kami atas nama pimpinan GAM yang membawahi seluruh anggota GAM dan mantan kombatan GAM, melihat dan merasakan beberapa hal yang perlu disampaikan kepada masyarakat luas dan Pemerintah Indonesia,” tulis pernyataan yang diterbitkan pada 27 November 2018.
Pertama, kasus dugaan suap yang menimpa Gubernur Aceh non-aktif (Irwandi Yusuf), menurut Bakhtiar Abdullah dan Muzakir Manaf telah menyita pikiran, tenaga, dan energi masyarakat dan Pemerintah Aceh.
Ada yang berpendapat penangkapan ini merupakan proses normal dalam penegakkan supremasi hukum di Indonesia. Di sisi lain atau sebagian menjadi khawatir munculnya akibat buruk karena penanganannya telah memakan waktu yang panjang dan berlarut-larut.
Pada prinsipnya, lanjut pernyataan itu, pimpinan GAM sangat mendukung upaya penegakan hukum dan menghormati semua proses yang terjadi. “Namun, jika dilakukan tidak dengan cara terukur, maka akan menimbulkan efek negatif, khususnya mengurangi kepercayaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Indonesia dan berpotensi serta dapat merusak perdamaian abadi di Aceh,” tandas Bakhtiar Abdullah dan Muzakir Manaf.
Berikutnya, terbangun opini seolah-olah pimpinan GAM gagal dalam menjalankan pemerintahan di Aceh, sebagai bagian dari amanah rakyat Aceh dan kepercayaan Pemerintah Indonesia. Propaganda tersebut sangat kontra produktif dan sesat. “Pimpinan GAM serta mantan kombatan GAM sangat mendukung dan menyatakan perang terhadap berbagai praktik korupsi di Aceh dan siap berdiri di garda terdepan untuk menindak berbagai praktik yang merugikan rakyat dan negara,” begitu penegasan pimpinan GAM.
Juga ditegaskan, pimpinan GAM serta mantan kombatan GAM tidak pernah membela kadernya yang patut diduga dan terlibat dalam penyelewengan keuangan negara serta daerah. Sebaliknya, pimpinan GAM beserta jajaran di bawahnya siap dan akan melawan dengan keras serta tegas apabila ada upaya rekayasa untuk merusak nilai-nilai perjuangan dengan cara mempolitisasi setiap masalah yang muncul, terutama masalah hukum.
“Kami ingatkan kepada seluruh elemen masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya untuk tidak terpengaruh dengan berita-berita dan informasi miring yang tidak jelas akurasi, validasi maupun sumbernya yang memang dengan sengaja diembuskan, seolah-olah rakyat dan pemimpin di Aceh adalah pencuri atau perampok uang negara,” begitu penegasan yang ditulis pada point kedua.
Pada point ketiga disebutkan, pascadamai, Aceh mendapatkan kekhususan dan keistimewaan yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Karena itu, jangan sampai ada rekayasa yang memang khusus diciptakan untuk membangun kesan serta persepsi seolah-olah Aceh tidak berhak mendapatkan keistimewaan dan kekhususan sebagaimana termaktub dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Pada point keempat pernyataannya, Bkhtiar Abdullah dan Muzakir Manaf menyebutkan, tuduhan adanya gratifikasi pada kasus BPKS Sabang, patut diduga sebagai rekayasa untuk melemahkan, merusak citra serta membunuh karakter pimpinan GAM serta mantan kombatan GAM. Padahal, terkait kasus ini pelakunya sudah diputuskan secara hukum dan sedang menjalani hukuman. Bahkan, dua perusahaan secara korporasi telah dinyatakan bersalah.
Menurut Bakhtiar Abdullah dan Muzakir Manaf, adanya upaya untuk mencari-cari kesalahan dan memunculkan tersangka baru, merupakan pintu masuk untuk menjerat pimpinan dan mantan kombatan GAM yang lain. “Jika itu terus dilakukan, kami menyatakan dengan tegas tidak akan tinggal diam jika pimpinan dan mantan kombatan GAM diusik dan dicari-cari kesalahannya,” tandas kedua pimpinan GAM tersebut
Perdamaian yang berakhir dengan MoU Helsinki dan UUPA, kata Bakhtiar Abdullah dan Muzakir Manaf memberikan status keistimewaan dan kekhususan bagi Aceh. Semua itu didapat dengan darah dan air mata. Karena itu, apabila pemerintah berusaha memungkiri keistimewaan dan kekhususan Aceh, maka akan berakibat sangat luas dan luar biasa.
Pada point terakhir ditulis, penegasan sikap tersebut perlu disampaikan demi dan untuk merawat serta menjaga perdamaian di Aceh, apalagi memasuki tahun politik nasional yaitu pilpres dan Pileg 2019.
“Jangan sampai pesta demokrasi tersebut diciderai oleh oknum atau pihak tertentu dengan mengatasnamakan penegakkan hukum di Aceh sehingga keamanan di Aceh tidak kondusif dan mengundang perhatian dunia Internasional. Berhentilah mengobok-obok Aceh,” demikian pernyataan Pimpinan GAM.
Penegasan tersebut disampaikan pimpinan GAM, Bakhtiar Abdullah dan Muzakir Manaf (KPA) dalam siaran pers yang diterima Serambi, menanggapi adanya pihak-pihak yang mencoba mengusik damai Aceh, khususnya pada aspek hukum.
Kondisi yang terjadi, menurut Bakhtiar Abdullah dan Muzakir Manaf dapat mengganggu proses perdamaian yang telah disepakati antara GAM dengan Pemerintah Indonesia dan juga menimbulkan trauma hukum dan psikologis bagi rakyat Aceh, khususnya pimpinan dan mantan kombatan GAM.
“Terhadap munculnya persoalan di Aceh, kami atas nama pimpinan GAM yang membawahi seluruh anggota GAM dan mantan kombatan GAM, melihat dan merasakan beberapa hal yang perlu disampaikan kepada masyarakat luas dan Pemerintah Indonesia,” tulis pernyataan yang diterbitkan pada 27 November 2018.
Pertama, kasus dugaan suap yang menimpa Gubernur Aceh non-aktif (Irwandi Yusuf), menurut Bakhtiar Abdullah dan Muzakir Manaf telah menyita pikiran, tenaga, dan energi masyarakat dan Pemerintah Aceh.
Ada yang berpendapat penangkapan ini merupakan proses normal dalam penegakkan supremasi hukum di Indonesia. Di sisi lain atau sebagian menjadi khawatir munculnya akibat buruk karena penanganannya telah memakan waktu yang panjang dan berlarut-larut.
Pada prinsipnya, lanjut pernyataan itu, pimpinan GAM sangat mendukung upaya penegakan hukum dan menghormati semua proses yang terjadi. “Namun, jika dilakukan tidak dengan cara terukur, maka akan menimbulkan efek negatif, khususnya mengurangi kepercayaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Indonesia dan berpotensi serta dapat merusak perdamaian abadi di Aceh,” tandas Bakhtiar Abdullah dan Muzakir Manaf.
Berikutnya, terbangun opini seolah-olah pimpinan GAM gagal dalam menjalankan pemerintahan di Aceh, sebagai bagian dari amanah rakyat Aceh dan kepercayaan Pemerintah Indonesia. Propaganda tersebut sangat kontra produktif dan sesat. “Pimpinan GAM serta mantan kombatan GAM sangat mendukung dan menyatakan perang terhadap berbagai praktik korupsi di Aceh dan siap berdiri di garda terdepan untuk menindak berbagai praktik yang merugikan rakyat dan negara,” begitu penegasan pimpinan GAM.
Juga ditegaskan, pimpinan GAM serta mantan kombatan GAM tidak pernah membela kadernya yang patut diduga dan terlibat dalam penyelewengan keuangan negara serta daerah. Sebaliknya, pimpinan GAM beserta jajaran di bawahnya siap dan akan melawan dengan keras serta tegas apabila ada upaya rekayasa untuk merusak nilai-nilai perjuangan dengan cara mempolitisasi setiap masalah yang muncul, terutama masalah hukum.
“Kami ingatkan kepada seluruh elemen masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya untuk tidak terpengaruh dengan berita-berita dan informasi miring yang tidak jelas akurasi, validasi maupun sumbernya yang memang dengan sengaja diembuskan, seolah-olah rakyat dan pemimpin di Aceh adalah pencuri atau perampok uang negara,” begitu penegasan yang ditulis pada point kedua.
Pada point ketiga disebutkan, pascadamai, Aceh mendapatkan kekhususan dan keistimewaan yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Karena itu, jangan sampai ada rekayasa yang memang khusus diciptakan untuk membangun kesan serta persepsi seolah-olah Aceh tidak berhak mendapatkan keistimewaan dan kekhususan sebagaimana termaktub dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Pada point keempat pernyataannya, Bkhtiar Abdullah dan Muzakir Manaf menyebutkan, tuduhan adanya gratifikasi pada kasus BPKS Sabang, patut diduga sebagai rekayasa untuk melemahkan, merusak citra serta membunuh karakter pimpinan GAM serta mantan kombatan GAM. Padahal, terkait kasus ini pelakunya sudah diputuskan secara hukum dan sedang menjalani hukuman. Bahkan, dua perusahaan secara korporasi telah dinyatakan bersalah.
Menurut Bakhtiar Abdullah dan Muzakir Manaf, adanya upaya untuk mencari-cari kesalahan dan memunculkan tersangka baru, merupakan pintu masuk untuk menjerat pimpinan dan mantan kombatan GAM yang lain. “Jika itu terus dilakukan, kami menyatakan dengan tegas tidak akan tinggal diam jika pimpinan dan mantan kombatan GAM diusik dan dicari-cari kesalahannya,” tandas kedua pimpinan GAM tersebut
Perdamaian yang berakhir dengan MoU Helsinki dan UUPA, kata Bakhtiar Abdullah dan Muzakir Manaf memberikan status keistimewaan dan kekhususan bagi Aceh. Semua itu didapat dengan darah dan air mata. Karena itu, apabila pemerintah berusaha memungkiri keistimewaan dan kekhususan Aceh, maka akan berakibat sangat luas dan luar biasa.
Pada point terakhir ditulis, penegasan sikap tersebut perlu disampaikan demi dan untuk merawat serta menjaga perdamaian di Aceh, apalagi memasuki tahun politik nasional yaitu pilpres dan Pileg 2019.
“Jangan sampai pesta demokrasi tersebut diciderai oleh oknum atau pihak tertentu dengan mengatasnamakan penegakkan hukum di Aceh sehingga keamanan di Aceh tidak kondusif dan mengundang perhatian dunia Internasional. Berhentilah mengobok-obok Aceh,” demikian pernyataan Pimpinan GAM.
Komentar
Posting Komentar